Nadiem Buat Aturan soal Sistem Zonasi, Pengamat: Jangan Asal Penjara Siswa


Pengamat pendidikan, Doni Koesoema mengaku tidak sependapat dengan Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019. Menurut Doni, bagi yang memalsukan syarat tidak bisa langsung dipenjara.

"Setiap pelanggaran hukum ada konsekuensinya, kalau mereka dari keluarga miskin benar dari keluarga miskin tidak mendapatkan kartu untuk program keluarga miskin kemudian dengan cara memalsukan harus dilihat konteks jangan-jangan data untuk anak dari keluarga harapan salah sasaran," kata Doni kepada wartawan, Selasa (31/12/2019).

"Jadi nggak bisa asal penjara, kalau mereka benar dari keluarga miskin negara harus membela dan memberikan akses pendidikan yang layak," imbuh Doni.

Dia menegaskan seharusnya orang kaya yang berpura-pura miskin yang dianggap kriminal. Tapi jika orang miskin memanipulasi data karena tidak memperoleh hak pendidikan, harus dipertimbangkan dahulu.

"Yang harus dipermasalahkan anak orang kaya yang pura-pura miskin di Semarang, dengan SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu), itu yang dipermasalahkan, itu kriminal. Tetapi ada orang miskin memanipulasi data karena tidak memperoleh haknya itu harus dilihat kasus per kasus," jelas dia.

Lebih jauh, ia menyatakan keluarga yang tidak mampu mendapatkan kartu jaminan sosial seperti Program Keluarga Harapan (PKH) yang bisa masuk jalur afirmasi.

Jalur afirmasi yang dimaksud diperuntukkan bagi peserta didik yang berasal dari keluarga ekonomi tidak mampu.

"Harus dilihat status keluarga tidak mampu sudah ada aturannya, misalnya mereka yang mengikuti keluarga harapan dan lain-lain itu bisa diverifikasi. Jadi menurut saya sejauh dia sudah memperoleh kartu jaminan sosial yang menunjukkan dia dari keluarga tidak mampu mereka harusnya masuk (sekolah)," ujar dia.

Selain itua, dia mempersoalkan jalur afirmasi yang diatur Permendikbud itu mengurangi jumlah kuota siswa yang tidak mampu. Hal tersebut berbeda dengan era Mendikbud Muhadjir Effendy.

"Jadi masalah bukan pemalsuan, jadi masalah mengapa dalam Permendikbud yang baru justru ada kuota afirmasi yang jumlahnya 15 persen. Afirmasi kan untuk keluarga tidak mampu padahal zaman Pak Muhadjir 90 persen zonasi sudah termasuk anak tidak mampu dan penyandang disabilitas jadi ketika di jalur afirmasi 15 persen, itu yang 50 persen sekarang untuk zonasi itu tidak termasuk anak yang tidak mampu lalu kenapa jalur prestasi ditambah. Sama saja meningkatkan elitis sekolah, tidak meratakan kualitas pendidikan," tuturnya.

Sebelumnya, Mendikbud Nadiem Makarim mengeluarkan Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019. Dalam aturan itu diatur soal penerimaan siswa menggunakan sistem zonasi. Bahkan bagi yang memalsukan syarat, bisa dipenjarakan.

Bila ada yang memalsu KK atau mengaku-aku miskin agar bisa masuk sekolah yang diinginkan? Nadiem menyatakan akan menyerahkan sesuai UU yang berlaku. Ancaman itu sebagaimana tertuang dalam Pasal 39:

Pemalsuan terhadap:
  • a.kartu keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14;
  • b.bukti sebagai peserta didik yang berasal dari keluarga ekonomi tidak mampu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 18; dan
  • c.bukti atas prestasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, dikenai sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan.
Nah, berdasarkan ketentuan perundang-undangan, bagi yang memalsukan akta otentik bisa dikenai Pasal 264 KUHP tentang Pemalsuan Dokumen, dengan hukuman maksimal 6 tahun penjara.
Sumber : https://news.detik.com/